LIPI Buat Marka Jalan Berbahan Karet
Satu lagi inovasi dari para peneliti di Indonesia
Semoga pemerintah Indonesia lebih memperhatikan kesejahteraan peneliti dan hasil penelitiannya
LIPI Buat Marka Jalan Berbahan Karet
SELASA, 08 NOVEMBER 2011 | 21:00 WIB
Untuk memberi nilai tambah bagi produksi karet lokal, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengembangkan karet alam sebagai komponen penyusun marka jalan. Bahan baru ini lebih awet dan ramah lingkungan ketimbang material yang saat ini digunakan.
Indonesia adalah negara penghasil karet alam terbesar kedua di dunia. Namun sebagian besar ekspor material ini diimpor ke luar negeri sebagai bahan baku. Peneliti dari Pusat Penelitian Kimia LIPI, Athanasia Amanda Septevani, mengembangkan inovasi itu dengan memanfaatkan bahan baku karet alam dari petani.
Di laboratorium, ia memecahkan ikatan rangkap yang ada pada karet dan mencangkokkannya dengan molekul lain untuk mencegah pembentukan ikatan rangkap. Material ini dicampur dengan zat lain, termasuk pewarna, seperti putih, merah, dan kuning, sesuai dengan keperluan.
"Marka jalan buatan kami mengandung 20 persen karet alam," ujar Athanasia kepada Tempo di Gedung Bidakara, Jakarta, Senin lalu.
Pada saat ini marka jalan umumnya terbuat dari resin kimia yang disebut methyl methacrylat (MMA). Bahan ini merupakan olahan dari minyak bumi yang berdampak buruk terhadap lingkungan. Penggunaan MMA sendiri mulai dikurangi di dunia internasional.
Dibandingkan dengan MMA, marka jalan berbahan karet bersifat ramah lingkungan. Marka dari karet ini juga dapat mencengkeram aspal lebih kuat lantaran sifat alamiah karet. Pengujian tekanan menunjukkan material asli Indonesia ini lebih tahan terhadap keretakan. "Marka jalan berbahan kimia sangat mudah patah atau retak," ucapnya.
Selama dua tahun penelitian, Athanasia mampu menghasilkan material berkualitas menengah, jauh lebih baik daripada sebagian besar marka jalan di Indonesia, yang masih berkualitas rendah.
Dari segi harga, marka jalan buatan LIPI sangat kompetitif. Jika dilepas ke pasar, material ini dibanderol seharga Rp 28 ribu per kilogram. Harga ini jauh lebih hemat dibanding marka jalan kimia yang umumnya berharga setidaknya Rp 30 ribu per kilogram.
Selain kebutuhan pasar yang amat menjanjikan, pasokan bahan baku tak akan kekurangan. Produksi tahunan karet alam Indonesia mencapai 2,7 juta ton. Dari jumlah ini, 15 persen diolah menjadi produk bernilai tinggi, seperti ban, lateks, dan produk alas kaki. Sedangkan 85 persennya diekspor ke luar negeri sebagai bahan mentah yang belum diolah. Karet tak bernilai tambah inilah yang dibidik LIPI sebagai bahan baku pembuatan marka jalan.
Tahun depan, LIPI masih berupaya meningkatkan kualitas material ini agar bisa menyamai marka jalan berbahan MMA berkualitas nomor wahid. Beberapa perusahaan sudah berkomitmen memproduksi material yang sedang dalam proses pengurusan hak paten.
Jika produksi massal sudah dilakukan, LIPI berharap produk ini segera dipakai perusahaan pembangunan jalan raya untuk membuat separator jalan raya, area parkir, zebra cross, dan penunjuk arah.
ANTON WILLIAM
Sumber:
TEMPO Interaktif, 8 November 2011
sumber :http://www.kaskus.us/showthread.php?t=11386026
Semoga pemerintah Indonesia lebih memperhatikan kesejahteraan peneliti dan hasil penelitiannya
SELASA, 08 NOVEMBER 2011 | 21:00 WIB
Untuk memberi nilai tambah bagi produksi karet lokal, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengembangkan karet alam sebagai komponen penyusun marka jalan. Bahan baru ini lebih awet dan ramah lingkungan ketimbang material yang saat ini digunakan.
Indonesia adalah negara penghasil karet alam terbesar kedua di dunia. Namun sebagian besar ekspor material ini diimpor ke luar negeri sebagai bahan baku. Peneliti dari Pusat Penelitian Kimia LIPI, Athanasia Amanda Septevani, mengembangkan inovasi itu dengan memanfaatkan bahan baku karet alam dari petani.
Di laboratorium, ia memecahkan ikatan rangkap yang ada pada karet dan mencangkokkannya dengan molekul lain untuk mencegah pembentukan ikatan rangkap. Material ini dicampur dengan zat lain, termasuk pewarna, seperti putih, merah, dan kuning, sesuai dengan keperluan.
"Marka jalan buatan kami mengandung 20 persen karet alam," ujar Athanasia kepada Tempo di Gedung Bidakara, Jakarta, Senin lalu.
Pada saat ini marka jalan umumnya terbuat dari resin kimia yang disebut methyl methacrylat (MMA). Bahan ini merupakan olahan dari minyak bumi yang berdampak buruk terhadap lingkungan. Penggunaan MMA sendiri mulai dikurangi di dunia internasional.
Dibandingkan dengan MMA, marka jalan berbahan karet bersifat ramah lingkungan. Marka dari karet ini juga dapat mencengkeram aspal lebih kuat lantaran sifat alamiah karet. Pengujian tekanan menunjukkan material asli Indonesia ini lebih tahan terhadap keretakan. "Marka jalan berbahan kimia sangat mudah patah atau retak," ucapnya.
Selama dua tahun penelitian, Athanasia mampu menghasilkan material berkualitas menengah, jauh lebih baik daripada sebagian besar marka jalan di Indonesia, yang masih berkualitas rendah.
Dari segi harga, marka jalan buatan LIPI sangat kompetitif. Jika dilepas ke pasar, material ini dibanderol seharga Rp 28 ribu per kilogram. Harga ini jauh lebih hemat dibanding marka jalan kimia yang umumnya berharga setidaknya Rp 30 ribu per kilogram.
Selain kebutuhan pasar yang amat menjanjikan, pasokan bahan baku tak akan kekurangan. Produksi tahunan karet alam Indonesia mencapai 2,7 juta ton. Dari jumlah ini, 15 persen diolah menjadi produk bernilai tinggi, seperti ban, lateks, dan produk alas kaki. Sedangkan 85 persennya diekspor ke luar negeri sebagai bahan mentah yang belum diolah. Karet tak bernilai tambah inilah yang dibidik LIPI sebagai bahan baku pembuatan marka jalan.
Tahun depan, LIPI masih berupaya meningkatkan kualitas material ini agar bisa menyamai marka jalan berbahan MMA berkualitas nomor wahid. Beberapa perusahaan sudah berkomitmen memproduksi material yang sedang dalam proses pengurusan hak paten.
Jika produksi massal sudah dilakukan, LIPI berharap produk ini segera dipakai perusahaan pembangunan jalan raya untuk membuat separator jalan raya, area parkir, zebra cross, dan penunjuk arah.
ANTON WILLIAM
Sumber:
TEMPO Interaktif, 8 November 2011
0 komentar :
Posting Komentar