"Jika Tewas Di Jalan, Bawa Mayat Saya Ke Istana, Bawa ke Hadapan SBY!!"
"Jika Tewas Di Jalan,
Bawa Mayat Saya Ke Istana!!"
Bawa Mayat Saya Ke Istana!!"
Quote:
Tak pernah tebersit di benak Indra Azwan, dirinya harus berjalan kaki lagi untuk kedua kalinya dari Malang menuju Jakarta. Tapi, mungkin itulah pengorbanan yang harus ditebus seorang ayah untuk mendapatkan sebuah keadilan yang setimpal atas kematian anaknya.
Indra Azwan (52), warga Jl Genok Watu Barat 95, Kota Malang, tiba-tiba saja ingin kembali melakukan aksinya seperti tujuh bulan lalu, berjalan kaki dari Kota Malang menuju Jakarta untuk menuntut keadilan atas kematian anaknya. Ini karena janji pemerintah yang pernah diterimanya, tak pernah terwujud sesuai keinginannya.
“Saya ingin kasus anak saya segera diselesaikan. Saya bosan dengan janji-janji, saya nggak mau menunggu lagi,” tutur Indra, Jumat (18/2).
"Kulit kaki sudah kapalan," ujarnya menambahkan. Tapi, semua itu tidak pernah dirasakannya. " Hati saya yang sakit, Mas. Keadilan itu cuma untuk orang kaya," katanya dengan geram.
Bulan Agustus 2010 lalu, pria ini pernah berjalan kaki selama 22 hari dari Kota Malang menuju Istana Negara untuk mengadukan kasus yang menimpa anaknya kepada Presiden. Rifki Andika (12), putra Indra, tewas dalam kecelakaan maut di Jl Letjen S Parman, Kota Malang akibat ditabrak mobil yang dikemudikan polisi bernama Kompol Joko Sumantri pada 1993 silam. Dia berangkat dari desanya, hanya berbekal uang Rp 500.000, dua pasang sepatu, dan semangat. Dia berjalan kaki dengan tekad minta keadilan. "Perjalanan saya selama 22 hari. Saya awali setelah shalat Subuh sampai pukul 21.00 WIB. Berbekal peta dan baju lima lembar, selama perjalanan memakai dua sepatu bergantian," tuturnya.
Ironisnya, dari kecelakaan maut ini, Joko lolos dari jerat hukum. Bahkan, kata Indra, ia sekarang dikabarkan menduduki sebuah posisi baru di kepolisian. Dari sinilah, Indra menuntut agar ada keadilan yang setara.
Mulanya, proses hukum kasus itu sempat berjalan, tapi hanya sesaat. Beberapa lama kemudian, kabar proses hukum kasus ini bagai raib "ditelan bumi". "Sampai akhirnya, pada tahun 2008, anggota Polri itu disidang di PN Malang. Tapi anehnya, dia langsung divonis bebas oleh hakim. Hakim membebaskan, dengan alasan kasus sudah kedaluwarsa," katanya dengan nada tinggi.
" Bagi Azwan, pendapat hakim tidak dapat diterima, sebab hakim telah memandang bahwa terdakwa terbukti telah menghilangkan nyawa anaknya, namun karena kadaluarsa, terdakwa dibebaskan," kata aktivis Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Edy Halomoan Gurning dalam rilis yang diterima detikcom, Kamis (29/7/2010).
Azwan makin tidak terima dengan kenyataan pahit itu karena proses penyelidikan, penyidikan, dan pra penuntutan atas kasus kematian anaknya tidak jelas. Mengapa pula polisi militer dan oditor baru menyidangkan kasus itu belasan tahun kemudian masih diselimuti misteri.
Kepergian Indra ke Jakarta lagi kali ini juga untuk mengembalikan uang yang diberikan Istana dan Kapolda Jatim waktu itu (Irjen Pol Pratiknyo, red). Indra mengaku menerima uang tunai senilai Rp 25 juta dari Istana. Sedangkan dari Irjen Pratiknyo, Rp 2,5 juta.
“Maksud dari uang ini mungkin agar saya tidak berbicara di luar. Ini kan sama artinya dengan suap,” kata Indra.
Pemberian uang ini, cerita Indra, terjadi pada 10 Agustus 2010 selepas bertemu Presiden. Dalam pertemuan itu, kata Indra, dirinya mengetahui langsung Presiden memerintahkan kepada Kapolri, Menkumham, dan Satgas Mafia Hukum yang hadir di ruangan itu untuk memerhatikan kasusnya. “Pak Presiden bilang langsung ke Kapolri, Pak Patrialis, dan Deny Indrayana untuk perhatikan kasus saya. Tolong saudara kita dari Jawa Timur ini diperhatikan,” ucap Indra menirukan SBY waktu itu.
Sayang perintah sepertinya itu tak pernah terlaksana. Usai pertemuan, Indra didatangi seseorang dari bagian Rumah Tangga (RT) Istana. Ia disodori amplop berisi Rp 25 juta.
“Saya disuruh menerima. Saya nggak tahu tujuan amplop ini. Belakangan saya tahu, supaya saya mengikhlaskan kematian anak saya dan melupakan kasusnya,” katanya.
Dicegah
Untuk aksi jalan kaki kedua ini , Indra membawa sejumlah perbekalan, di antaranya, ponsel, sejumlah uang untuk kebutuhan selama di jalan dan spanduk berisi hujatan kepada pemerintah. “Aksi Jalan Kaki Malang-Jakarta… 18 Tahun Mencari Keadilan Korban Kebohongan Presiden…. Saya Tidak Butuh Amplop…” begitu bunyi sebagian kalimat yang tertera di punggung Indra.
Kabar mengenai aksi kedua kali ini diduga sudah terdengar Jakarta. Ini dibuktikan dengan telepon Denny Indrayana kepada Kapolresta Malang, AKBP Agus Salim.
Dalam perbincangan singkat antara Denny dengan Agus melalui ponsel, tersiar kabar Denny melarang kepergian Indra ke Jakarta. “Tadi Denny telepon Kapolres, ia (Denny) meminta saya membatalkan rencananya,” kata Indra yang tetap nekat melanjutkan aksinya.
Namun, keberangkatan Indra pun tertunda. Kapolresta Malang kemarin membawanya ke Surabaya untuk bertemu Kapolda Jatim Irjen Badrodin Haiti, dan Pangdam V/Brawijaya Mayjend TNI Gatot Normantyo. “Bapak Kapolda dan Pangdam ingin ketemu dengan Indra,” kata Kapolres.
Saat pertemuan bersama Kapolda, Pangdam, serta beberapa pejabat seperti Direskrim dan Kabid Humas Polda Jatim, serta Kepala Oditur Militer dan Kakum Dam V/Brawijaya, Indra diyakinkan bahwa polisi tidak akan menghalangi keinginannya berangkat ke Jakarta. Permasalahan yang dihadapi Indra juga bisa diselesaikan tanpa harus berangkat ke Jakarta.
”Kami sebenarnya sudah memberi sanksi (kepada Kompol Joko, red), tapi kami perlu tahu dulu tidak puasnya di mana? Biar kami yang menyelesaikan dan tidak perlu berangkat ke Jakarta,” ujar Kombes Pudji Astuti, Kabid Humas Polda Jatim.
Penuturan Indra, dari pertemuan itu, ia dibuatkan perjanjian tertulis bahwa Kapolda dan Pangdam akan menyelesaikan kasus kematian Rifki dalam waktu tiga bulan.
Wasiat
Di sisi lain, Indra mengaku sudah membuat surat wasiat jika terjadi hal buruk menimpanya dalam perjalanan ke Jakarta. “Saya takut seperti Munir. Saya takut nyawa saya terancam,” katanya.
Dalam wasiat itu, Indra menulis jika sesuatu yang buruk menimpa hingga menyebabkan dirinya meninggal, dia berpesan agar mayatnya tidak dimandikan dan tidak dikafani. “Jika saya tewas dalam perjalanan, bawa mayat saya ke Istana. Jangan dibawa pulang (ke Kota Malang) untuk dimandikan, disalati, dan dikuburkan dengan kain kafan. Saya hanya ingin dibawa ke Istana. Bawa ke hadapan SBY,” tutur Indra.
Perjalanan Pertama
HARGA KEADILAN di Indonesia tu berapa sih gan???
Dijual di toko mana???
Lebih mahalkah dari harga manusia Indonesia yang hanya dihargai 27,5juta saja?!!
Kita patungan trus beliin buat Pak Indra yuk...
Atau jangan2 dah ga ada yang jual ya malahan...??
Semua udah dimonopoli sama penguasa...??
Suara hati kenapa pergi
Suara hati jangan pergi lagi
Suara hati kenapa pergi
Suara hati jangan pergi lagi
Apa kabar suara hati
Sudah lama baru terdengar lagi
Kemana saja suara hati
Tanpa kau sepi rasanya hari
sumber :http://www.kaskus.us/showthread.php?t=7431194
Indra Azwan (52), warga Jl Genok Watu Barat 95, Kota Malang, tiba-tiba saja ingin kembali melakukan aksinya seperti tujuh bulan lalu, berjalan kaki dari Kota Malang menuju Jakarta untuk menuntut keadilan atas kematian anaknya. Ini karena janji pemerintah yang pernah diterimanya, tak pernah terwujud sesuai keinginannya.
“Saya ingin kasus anak saya segera diselesaikan. Saya bosan dengan janji-janji, saya nggak mau menunggu lagi,” tutur Indra, Jumat (18/2).
"Kulit kaki sudah kapalan," ujarnya menambahkan. Tapi, semua itu tidak pernah dirasakannya. " Hati saya yang sakit, Mas. Keadilan itu cuma untuk orang kaya," katanya dengan geram.
Bulan Agustus 2010 lalu, pria ini pernah berjalan kaki selama 22 hari dari Kota Malang menuju Istana Negara untuk mengadukan kasus yang menimpa anaknya kepada Presiden. Rifki Andika (12), putra Indra, tewas dalam kecelakaan maut di Jl Letjen S Parman, Kota Malang akibat ditabrak mobil yang dikemudikan polisi bernama Kompol Joko Sumantri pada 1993 silam. Dia berangkat dari desanya, hanya berbekal uang Rp 500.000, dua pasang sepatu, dan semangat. Dia berjalan kaki dengan tekad minta keadilan. "Perjalanan saya selama 22 hari. Saya awali setelah shalat Subuh sampai pukul 21.00 WIB. Berbekal peta dan baju lima lembar, selama perjalanan memakai dua sepatu bergantian," tuturnya.
Ironisnya, dari kecelakaan maut ini, Joko lolos dari jerat hukum. Bahkan, kata Indra, ia sekarang dikabarkan menduduki sebuah posisi baru di kepolisian. Dari sinilah, Indra menuntut agar ada keadilan yang setara.
Mulanya, proses hukum kasus itu sempat berjalan, tapi hanya sesaat. Beberapa lama kemudian, kabar proses hukum kasus ini bagai raib "ditelan bumi". "Sampai akhirnya, pada tahun 2008, anggota Polri itu disidang di PN Malang. Tapi anehnya, dia langsung divonis bebas oleh hakim. Hakim membebaskan, dengan alasan kasus sudah kedaluwarsa," katanya dengan nada tinggi.
" Bagi Azwan, pendapat hakim tidak dapat diterima, sebab hakim telah memandang bahwa terdakwa terbukti telah menghilangkan nyawa anaknya, namun karena kadaluarsa, terdakwa dibebaskan," kata aktivis Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Edy Halomoan Gurning dalam rilis yang diterima detikcom, Kamis (29/7/2010).
Azwan makin tidak terima dengan kenyataan pahit itu karena proses penyelidikan, penyidikan, dan pra penuntutan atas kasus kematian anaknya tidak jelas. Mengapa pula polisi militer dan oditor baru menyidangkan kasus itu belasan tahun kemudian masih diselimuti misteri.
Kepergian Indra ke Jakarta lagi kali ini juga untuk mengembalikan uang yang diberikan Istana dan Kapolda Jatim waktu itu (Irjen Pol Pratiknyo, red). Indra mengaku menerima uang tunai senilai Rp 25 juta dari Istana. Sedangkan dari Irjen Pratiknyo, Rp 2,5 juta.
“Maksud dari uang ini mungkin agar saya tidak berbicara di luar. Ini kan sama artinya dengan suap,” kata Indra.
Pemberian uang ini, cerita Indra, terjadi pada 10 Agustus 2010 selepas bertemu Presiden. Dalam pertemuan itu, kata Indra, dirinya mengetahui langsung Presiden memerintahkan kepada Kapolri, Menkumham, dan Satgas Mafia Hukum yang hadir di ruangan itu untuk memerhatikan kasusnya. “Pak Presiden bilang langsung ke Kapolri, Pak Patrialis, dan Deny Indrayana untuk perhatikan kasus saya. Tolong saudara kita dari Jawa Timur ini diperhatikan,” ucap Indra menirukan SBY waktu itu.
Sayang perintah sepertinya itu tak pernah terlaksana. Usai pertemuan, Indra didatangi seseorang dari bagian Rumah Tangga (RT) Istana. Ia disodori amplop berisi Rp 25 juta.
“Saya disuruh menerima. Saya nggak tahu tujuan amplop ini. Belakangan saya tahu, supaya saya mengikhlaskan kematian anak saya dan melupakan kasusnya,” katanya.
Dicegah
Untuk aksi jalan kaki kedua ini , Indra membawa sejumlah perbekalan, di antaranya, ponsel, sejumlah uang untuk kebutuhan selama di jalan dan spanduk berisi hujatan kepada pemerintah. “Aksi Jalan Kaki Malang-Jakarta… 18 Tahun Mencari Keadilan Korban Kebohongan Presiden…. Saya Tidak Butuh Amplop…” begitu bunyi sebagian kalimat yang tertera di punggung Indra.
Kabar mengenai aksi kedua kali ini diduga sudah terdengar Jakarta. Ini dibuktikan dengan telepon Denny Indrayana kepada Kapolresta Malang, AKBP Agus Salim.
Dalam perbincangan singkat antara Denny dengan Agus melalui ponsel, tersiar kabar Denny melarang kepergian Indra ke Jakarta. “Tadi Denny telepon Kapolres, ia (Denny) meminta saya membatalkan rencananya,” kata Indra yang tetap nekat melanjutkan aksinya.
Namun, keberangkatan Indra pun tertunda. Kapolresta Malang kemarin membawanya ke Surabaya untuk bertemu Kapolda Jatim Irjen Badrodin Haiti, dan Pangdam V/Brawijaya Mayjend TNI Gatot Normantyo. “Bapak Kapolda dan Pangdam ingin ketemu dengan Indra,” kata Kapolres.
Saat pertemuan bersama Kapolda, Pangdam, serta beberapa pejabat seperti Direskrim dan Kabid Humas Polda Jatim, serta Kepala Oditur Militer dan Kakum Dam V/Brawijaya, Indra diyakinkan bahwa polisi tidak akan menghalangi keinginannya berangkat ke Jakarta. Permasalahan yang dihadapi Indra juga bisa diselesaikan tanpa harus berangkat ke Jakarta.
”Kami sebenarnya sudah memberi sanksi (kepada Kompol Joko, red), tapi kami perlu tahu dulu tidak puasnya di mana? Biar kami yang menyelesaikan dan tidak perlu berangkat ke Jakarta,” ujar Kombes Pudji Astuti, Kabid Humas Polda Jatim.
Penuturan Indra, dari pertemuan itu, ia dibuatkan perjanjian tertulis bahwa Kapolda dan Pangdam akan menyelesaikan kasus kematian Rifki dalam waktu tiga bulan.
Wasiat
Di sisi lain, Indra mengaku sudah membuat surat wasiat jika terjadi hal buruk menimpanya dalam perjalanan ke Jakarta. “Saya takut seperti Munir. Saya takut nyawa saya terancam,” katanya.
Dalam wasiat itu, Indra menulis jika sesuatu yang buruk menimpa hingga menyebabkan dirinya meninggal, dia berpesan agar mayatnya tidak dimandikan dan tidak dikafani. “Jika saya tewas dalam perjalanan, bawa mayat saya ke Istana. Jangan dibawa pulang (ke Kota Malang) untuk dimandikan, disalati, dan dikuburkan dengan kain kafan. Saya hanya ingin dibawa ke Istana. Bawa ke hadapan SBY,” tutur Indra.
Perjalanan Pertama
Code:
http://forum.detik..com/coreng-moreng-wajah-sby-t200184.html
HARGA KEADILAN di Indonesia tu berapa sih gan???
Dijual di toko mana???
Lebih mahalkah dari harga manusia Indonesia yang hanya dihargai 27,5juta saja?!!
Kita patungan trus beliin buat Pak Indra yuk...
Atau jangan2 dah ga ada yang jual ya malahan...??
Semua udah dimonopoli sama penguasa...??
Suara hati kenapa pergi
Suara hati jangan pergi lagi
Suara hati kenapa pergi
Suara hati jangan pergi lagi
Apa kabar suara hati
Sudah lama baru terdengar lagi
Kemana saja suara hati
Tanpa kau sepi rasanya hari
Iwan Fals - Suara Hati
0 komentar :
Posting Komentar